Berdasarkan penelitian di Sekolah-sekolah yang telah menerapkan Pendidikan Inklusi, ternyata wajah-wajah siswa penderita down syndrom dapat berubah menjadi normal kembali apabila mereka ditangani dengan benar. Dalam penerapannya, bahkan seorang penderita autis mampu memiliki kemahiran dan diterima di ITB untuk jurusan matematika. Itulah yang dialami salah satu siswa SMA lazuardi Depok yang diceritakan oleh Kepala Sekolahnya. Hal itu dikuatkan pula oleh Pogja Sekolah Inklusi Depok, Bapak Khoirudin dalam Pelatihan Sekolah Inklusi yang dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2018 lalu di SMK N 2 Depok.

Menjadi sekolah inklusi ini secara hukum merupakan hal yang wajib sebagaimana regulasi yg berlaku. Semangat untuk memberikan layanan yg prima kepada seluruh generasi bangsa tanpa terkecuali juga merupakan cita-cita dan semangat pendidikan di Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 (1) yang menyebutkan bahwa: ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Termasuk di dalamnya, anak-anak yang memiliki ‘keunikan’. Karena itu, Apapun sekolahnya, tentulah harus menjadi Sekolah Inklusi yang sebenarnya.

Sekolah Inklusi dikenal secara umum sebagai sekolah yang memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam permendikbud No 70 tahun 2009 juga disampaikan bahwa Sekolah Inklusi adalah sekolah yang memfasilitasi anak-anak disabilitas dan berbakat. Dikuatkan pula dengan regulasi dari Perda Depok No. 8, tahun 2013 dan Perwal No. 50 Tahun 2013 tentang pendidikan Inklusi di Kota Depok. Dalam Perwal tersebut juga ditetapkan bahwa setiap sekolah di Kota Depok wajib minimal memiliki satu anak didik ABK untuk setiap tingkatnya.

Namun, pada hakikatnya, Sekolah Inklusi bukan hanya untuk mereka yang berkebutuhan khusus saja. Ibu Emilia, pemateri dari Hellen Keller Indonesia menyampaikan bahwa Pendidikan inklusi itu memiliki semangat dengan slogan: Pendidikan Untuk Semua, Education for All. Artinya, bukanlah hanya menitikberatkan pada anak-anak disabilitas dan berbakat saja, melainkan juga untuk anak-anak normal. Dengan kata lain, sekolah Inklusi adalah sekolah yg melakukan upaya maksimal untuk memfasilitasi semua siswa dengan keunikan dan kelebihannya masing-masing.

Ada istilah Sekolah Segregasi. Ini merujuk pada sekolah SLB yang di dalamnya cenderung diisi oleh siswa-siswi yang memiliki disabilitas seragam. Mereka memperoleh layanan pendidikan yang dipisahkan dengan siswa-siswi normal pada umumnya. Selain itu, ada istilah Sekolah Integratif. Sekolah jenis ini mulai menggabungkan peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam sekolah yang sama dengan siswa-siswi normal. Namun mereka yang unik itu mengikuti standar sekolah dan wajib menyesuaikan. Anak-anak ABK dalam sekolah Integratif pada umumnya akan diberikan layanan khusus agar dapat mencapai standar yang diinginkan sekolah.

Adapun Sekolah Inklusi bukanlah sekolah Segregasi atau Integratif. Sekolah jenis ketiga ini tidak mewajibkan anak-anak didiknya untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan sekolah sebagaimana pada sekolah Integratif, tetapi justru Sekolahlah yang menyesuaikan standar kompetensinya dengan anak-anak tersebut. Kurikulum yang disiapkan mengikuti kemampuan atau tahap perkembangan tiap peserta didik disabilitas, berbakat, atau siswa normal yang memiliki keunikannya sendiri. Artinya, memiliki kurikulum khusus selain kurikulum umum untuk siswa-siswi normal. Misalnya, apabila di sekolah tersebut memiliki peserta didik yang tuna netra, maka dalam RPP atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ditambahkan dalam Sumber rujukan berupa buku braille. Contoh lain, apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar, maka tingkat kesulitan soal ulangan atau ujian akan diturunkan sesuai dengan kemampuannya. Hal ini memungkinkan Kurikulum yang disiapkan sekolah Inklusi itu lebih dari satu sesuai jumlah dari jenis-jenis siswa berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.

Sekolah Inklusi juga membuat assesment untuk mengetahui kondisi siswa secara tepat pada awal mereka bergabung dengan sekolah. Selain itu, perlu ada kerjasama dengan orang tua untuk memperoleh keterbukaan agar anak memperoleh layanan yang semestinya. Dan sekali lagi, tidak hanya terbatas pada yag disabilitas saja, melainkan untuk semua peserta didik.

Alangkah indah jika di Sekolah yang kita kelola memiliki siswa-siswi yang terlayani dan terfasilitasi dengan baik, tak terkecuali kepada mereka yang berkebutuhan khusus dan cenderung termarjinalkan. Guru-gurunya memahami betul kebutuhan seluruh siswa dan mereka pun mampu mengembangkan diri sesuai potensinya masing-masing. Hal ini mengingatkan Penulis pada kata-kata yang pernah terpampang dalam iklan GDS: “Mendidik satu persatu”. Slogan itulah sebenarnya yang menggambarkan semangat dari Sekolah Inklusi.