SERI INSPIRASI PENDIDIKAN
(Kesatria Sughani, S.Pd., Wk. Kur. SMK Ghama Caraka)

Baru-baru ini, saya menyempatkan diri untuk membaca sebuah buku berjudul CHARACTER MATTERS, Thomas Lickona, penerima Sandy Lifetime Achievement Award, dan menemukan sebuah keharusan dalam cara membentuk karakter putra-putri didik kita.

Dalam banyak survei pada banyak orang tua yang anaknya ‘tidak punya karakter’ ditemukan kesamaan pola pendidikan. yaitu mereka membuat batasan lalu melampauinya (tidak konsisten), kemudian berkompromi tentang aturan, dan pada akhirnya, anak2 mereka tidak punya karakter. Orang tua memberikan keringanan, “boleh pesta, tapi tidak boleh mabuk.” kemudian, “boleh mabuk tapi harus didampingi orang tua”, dan seterusnya keringanan2 lain sehingga pada akhirnya tidak tersisa satu nilaipun.

Dalam pernyataan seorang pendidik tentang problem moral di amerika berbunyi kurang lebih begini, “ketika kelas satu (SMA) mereka diberikan keringanan atas dalil demokratis, tetapi kasus seks bebas, kekerasan, pelanggaran aturan semakin parah di kelas 2.”

Dari kenyataan itu, dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya kita perlu sikap ditaktor dan perlu konsisten dalam nilai atau karakter. jika kita bentuk sebuah aturan, maka patuhi dan tegaskan. sehingga siswa mengenal itu sebagai nilai yang benar. awalnya terbiasa dan kemudian menjadi budaya (mengarakter). karakter peduli misalnya. dengan kita menggalakkan peduli untuk piket kelas secara rutin. maka karakter itu akan terbentuk. karakter rapi misalnya, dengan menggalakkan kerapian seragam, baju senantiasa dimasukkan, rambut rapi, dan meletakkan sepatu pada tempatnya maka karakter rapi akan terbentuk. Misalnya lagi, klw kita mau tanamkan karakter jujur, maka benarlah jika kita terapkan larangan menyontek kemudian mematuhi konsekuensi, konsisten terhadapnya dan terus disuarakan. Kelak itu akan menjadi nilai dan mengarakter dalam diri siswa. Sebaliknya, Apabila muncul peringanan, kerenggangan atas nilai2 tersebut, maka nilai itu akan hancur perlahan sampai akhirnya tidak tersisa.

Sikap Ditaktor ini menjadi penting disebabkan karena dalam mendidik karakter itu memang harus disesuaikan dengan perkembangan atau tahap moral peserta didik. Di mana sebelum siswa mencapai tahap kompromi dalam aturan dan nilai (demokratis), mereka memang harus melampaui tahap moral ketaatan atau kepatuhan terhadap nilai yang memang berdampak positif menurut yang seharusnya. Tanpa mencapai tahap moral ‘ketaatan ini’ yang disertai kesopanan pada yang lebih tua (lebih banyak pengalaman hidup), maka hanya akan melahirkan orang-orang yang senang buat aturan sendiri dengan dalih kebebasan hak atau demokratisasi, atau yang lebih parah adalah berdalih “kritis itu baik” tetapi pada hakikatnya mereka menginjak-injak nilai positif yang lain seperti ketaatan dan kesopanan.

Simpulan:
Jika seorang pendidik atau instansi pendidikan ingin bersungguh-sungguh menanamkan karakter positif kepada putra-putri kita, sikap ditaktor dalam menerapkan nilai positif adalah wajib. dengan ditambah konsistensi, itu akan semakin sempurna. Diktator di sini bukan berarti kasar dan main fisik. melainkan menetapkan aturan, kemudian diterapkan dengan konsisten untuk setiap nilai yang hendak dikembangkan.

Sudah selayaknya bagi kita semua sebagai insan pendidikan yang tulus ingin mendidik karakter, merapatkan barisan dan kompak dalam kediktatoran positif ini.

Salam Inspirasi. Untuk Pendidikan Karakter GDS yang Lebih baik. πŸ’ͺ🏼πŸ’ͺ🏼πŸ’ͺπŸΌπŸ™πŸ»